Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Danantara, Otoritarianisme, Dan Utopia Indonesia Emas Danantara, Temasek, dan Nepotisme

Selasa, 18 Februari 2025 | Februari 18, 2025 WIB Last Updated 2025-02-18T15:52:56Z
Jakarta,cakratv..news || Efisiensi anggaran yang menuai banyak protes dari berbagai elemen masyarakat, nyatanya mampu memangkas APBN lebih dari Rp 300 triliun. Uang hasil efisiensi yang katanya untuk membiayai MBG, ternyata sekitar Rp 300 triliunnya disetorkan kepada Danantara.

Tahukah kalian, apa yang aneh dari setoran hasil efisiensi ini? Draft awal Danantara oleh Sumitro Djojohadikusumo yang tak lain adalah ayah dari Prabowo Subianto, menginginkan 1-5 persen laba BUMN masuk ke dalam Danantara. Namun praktek yang dilakukan oleh Prabowo, justru memangkas anggaran di Kementerian sebagai “modal awal” bagi Danantara.

Fakta di atas merupakan sebuah anomali, di mana seharusnya untuk menyuntikkan modal awal bagi Danantara, laba BUMN yang semestinya dijadikan “bahan bakar”.

Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) yang dirancang untuk mengelola aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) senilai Rp 9.000, menuai rasa kegelisahan tersendiri di benak saya. Kenapa? muncul kekhawatiran bahwa Danantara justru menjadi alat otoritarianisme baru, menjauhkan Indonesia dari utopia ekonomi yang dijanjikan, dan malah memperkuat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) ala Orde Baru.

Sedangkan yang saya ingat, katanya Prabowo ingin meniru gaya pemerintahan Deng Xiaoping, yang bisa membawa Tiongkok sebagai raksasa ekonomi global saat ini.

Danantara, Temasek, dan Nepotisme

Danantara disebut-sebut ingin meniru model Temasek, Sovereign Wealth Fund (SWF) Singapura yang sukses mengelola aset negara. Namun, ada perbedaan mendasar yang mendasar, di mana Temasek dikelola oleh entitas swasta yang independen dengan fokus pada profitabilitas dan efisiensi, sedangkan Danantara dikelola oleh BUMN yang rentan terhadap intervensi politik.

Menurut teori Principal-Agent Problem (Jensen & Meckling, 1976), dalam struktur BUMN, pemerintah sebagai principal sering kali gagal mengawasi agen (pengelola BUMN) karena konflik kepentingan dan kurangnya independensi. Hal ini berpotensi menjadikan Danantara sebagai alat politik, bukan motor ekonomi, sebagaimana terjadi pada BUMN era Orde Baru yang sering digunakan untuk kepentingan kroni Soeharto.

Faktanya, jabatan-jabatan strategis di BUMN banyak diisi oleh “orang titipan” partai politik, entah itu ketua partai, kader, hingga buzzer. Nah yang menjadi pertanyaan, bagaimana bisa Danantara sukses mengelola aset negara melalui Super Holding BUMN, jika masih banyak parasit di BUMN itu sendiri?

Sedangkan, seperti yang kita semua tahu bahwa Temasek berbentuk dan dikelola oleh swasta, yang tata kelolanya lebih profesional.

Keterlibatan Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), serta keponakannya Pandu Patria Sjahrir yang dikabarkan akan menduduki posisi penting di Danantara, serta penunjukan eks-Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan juga ormas keagamaan sebagai pengawas, menunjukkan praktik nepotisme dan politisasi.

Menurut penjelasan dari Max Weber (1978) dalam teori tentang Patrimonialisme, dijelaskan bahwa ketika kekuasaan dijalankan berdasarkan hubungan personal dan loyalitas, bukan meritokrasi bisa dijadikan alat untuk konsolidasi kekuasaan. Penunjukan figur-figur tadi, meskipun beberapa memiliki kompetensi, menciptakan persepsi bahwa Danantara lebih merupakan alat konsolidasi kekuasaan kelompok tertentu daripada institusi untuk kepentingan nasional.

Nah yang jadi pertanyaan selanjutnya, apakah ormas keagamaan memiliki kompetensi serta kapabilitas untuk melakukan audit di Danantara? Sedangkan seperti yang kita semua tahu, untuk mengelola tambang saja, mereka tetap mencari investor guna menghasilkan pundi-pundi rupiah.


Tim 

×
Berita Terbaru Update